Kamis, 16 Mei 2013
Prediksi Karakter Kepemimpinan pada Pilpres 2014
Voters cast the ballots for the person, not the party: pemilih mencontreng kartu suara karena memilih orangnya, bukan memilih partainya.
Tesis ini sangat populer di Amerika, yang intinya mengatakan bahwa karakter personal kandidat adalah faktor yang dianggap jauh lebih penting dalam membentuk pilihan politik pemilih. Dan pemilih jenis ini konon makin berjubel dari pemilu ke pemilu. Sebaliknya, pemilih yang mempertimbangkan afiliasi partai dari sang kandidat sebagai faktor penentu pilihan politiknya jumlahnya semakin mengecil dari waktu ke waktu.
Kecenderungan ini awalnya merebak di Amerika Serikat. Ketika kecenderungan yang sama ditemui di negara-negara lain pada paruh akhir abad 20, para orang pintar melabeli kecenderungan ini sebagai proses Amerikanisasi perilaku memilih dalam pemilu. Lebih spesifik lagi, Amerikanisasi ini tak lain adalah proses personalisasi politik di mana bobot kandidat melampaui partainya.
Di Indonesia, tesis ini muncul dalam ungkapan yang sedikit berbeda: figur kandidat menggeser faktor-faktor lain sebagai faktor yang paling menentukan kemenangan elektoral dalam pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Ketika kata benda diperlukan untuk menyatakan munculnya kecenderungan ini di tanah air, para pengamat dan politisi menyodorkan turunan istilah yang sungguh amat buruk: figuritas. Kita tak akan pernah menemukan kosakata figuritydalam perbendaharaan bahasa aslinya.
Namun gagasan yang termuat dalam tesis ini jauh lebih menarik diperbincangkan ketimbang istilah turunan yang jelek itu. Implikasi dari benar atau tidaknya tesis itu juga jauh lebih penting ketimbang urusan bahasa.
* * *
Dalam sistem presidensial, pemilih memang dihadapkan pada daftar calon presiden – bukan daftar partai. Tetapi, alasan memilih calon bisa karena afiliasi kepartaian dari sang calon presiden. Benar, partai pada dasarnya hanyalah sebuah label. Meskipun demikian, label itu sesungguhnya memuat serangkaian informasi pokok yang krusial bagi pemilih. Label adalah pemadatan informasi dan pemadatan sejarah. Informasi yang dipadatkan ini kelak membantu pemilih untuk membuat keputusan memilih. Ketika sebuah partai memakai gambar Ka’bah atau memampang tulisan berhuruf Arab di logonya, maka pemilih tahu bahwa partai tersebut memiliki asosiasi dengan Islam. Sementara, gambar rantai atau roda bergerigi tumpul menyorongkan asosiasi dengan dunia kerja di sektor industri. Gambar banteng, di Indonesia, memberikan asosiasi tentang kebangsaan. Dan seterusnya.
Tak hanya gambar dan simbol tetapi warna yang juga. Warna merah di Amerika adalah warna Partai Republik, sedangkan warna biru adalah milik Partai Demokrat. Meskipun tak berhubungan, warna biru di Indonesia adalah milik Partai Demokrat – selain dipakai juga oleh Partai Amanat Nasional. Warna hijau umumnya dinisbahkan pada partai-partai Islam; merah adalah warna partai nasionalis, kuning Golkar, putih PKS.
Tak aneh kemudian jika partai-partai pendatang baru lantas memilih warna pokok sebagai bagian dari ungkapan identitas partai. Label partai umumnya juga memberikan gambaran kelompok sosial utama yang diwakili oleh partai tersebut. L abel seperti PDIP, PPP, Demokrat, PAN, PKB, PKS , Hanura, Gerindra , PKB dan Nasdem, semuanya hendak menyampaikan ide bahwa masing-masing partai ini mewakili minimal sebuah kelompok utama yang diperjuangkan kepentingannya. Maka, PDIP biasanya diasosiasikan dengan strata sosial wong cilik, PPP dengan komunitas Muslim, dan seterusnya.
Yang paling penting, label partai juga memadatkan serangkaian gagasan. Rumusan gagasan yang sistematik kerap diringkas dalam konsep ideologi. Label partai karena itu berisi kombinasi informasi tentang identitas dan ideologi. Rumusan ideologi partai selanjutnya dirinci dalam posisi partai politik terhadap berbagai isu kemasyarakatan, serta pilihan kebijakan publiknya. Label partai, pendeknya, adalah shortcut bagi pemilih untuk mengetahui arah kebijakan publik yang diambil jika kelak partai tersebut memenangkan pemilu.
Shortcut bagi pemilih ini semakin bermakna manakala partai politik memiliki sejarah yang panjang. Sedimentasi sejarah partai – terutama yang berpengalaman dalam pemerintahan – akan memberikan validasi sejauh mana pola kebijakan yang diasosiasikan oleh partai politik memang benar-benar dijalankan.
Padatan informasi dalam label partai itu sebenarnya menyodorkan tesis juga. Ia mewakili gagasan dan cara pandang khas atas berbagai persoalan publik. Kandidat partai karenanya bisa dikatakan sebagai perpanjangan belaka dari gagasan yang dikembangkan partai politik. Tak penting amat jenis jabatan publik yang diembannya, apakah kandidat eksekutif ataupun legislatif, keputusan dan kebijakan politik yang mereka ambil diformat oleh partai politik yang mencalonkannya. Pilihan politik berbasis partai karenanya adalah pilihan yang berbasis pada informasi programatik.
Lain halnya dengan karakter kepribadian. Karakter kandidat adalah atribut yang melekat secara unik pada kualitas kepribadian seseorang yang dicalonkan untuk memegang jabatan publik mulai dari walikota dan bupati, gubernur, presiden, dan para legislator. Sejumlah karakter pokok yang didambakan pemilih bisa diringkas dalam sejumlah kategori psikologis: berwibawa, jujur, tegas, disiplin, pintar, perhatian, dan sebagainya.
Faktor personal ini menyajikan variasi lain, yakni penampilan fisik yang juga melekat secara khas sebagai atribut personal seorang kandidat. Di tahun 2009 kita mendengar ungkapan Jusuf Kalla yang “mengeluh” karena merasa penampilannya tidak presidensial. Rupanya, ada penampilan fisik yang presidensial, dan sebaliknya ada penampilan yang tidak presidensial. Tahun yang sama kita mendengar ungkapan, “pilihlah calon yang memiliki tahi lalat,”atau, “pilih calon yang paling cantik”. Paling mutakhir kita mendengar kampanye “coblos kumisnya” pada Pilkada Gubernur DKI yang baru berlalu. Ringkasnya, pembeda antara kandidat yang satu dengan yang lain adalah atribut personal. Dan perbedaan itu disodorkan sebagai bahan pertimbangan bagi pemilih dalam membuat keputusan politik.
Di era televisi, tentu amatlah sulit bagi pemilih untuk melepaskan diri dari proses personalisasi politik. Televisi secara masif mampu memusatkan perhatian audiens pemilih kepada atribut personal kandidat. Dan atribut personal ini lebih mudah diingat oleh audiens yang sekaligus juga pemilih, yakni bagaimana kandidat tampil di depan kamera atau layar televisi, bagaimana gaya dan tone bicara mereka, dan sejauh mana pembawaan mereka menarik dan meyakinkan. Kata kuncinya, sedikit mengulang di atas: berwibawa, bersih, tegas, bisa dipercaya. Proses menimbang calon presiden pada diri pemilih pada akhirnya bermuara pada sikap suka atau tidak suka kepada masing-masing calon presiden.
Karena itu normal belaka sebagai sebuah kenyataan bahwa pemilih lebih tertarik pada jenis karakter personal kandidat; dan dengan itu ia memutuskan untuk memilihnya seraya mengabaikan partainya. Proses pembuatan keputusan semacam ini tidaklah buruk dengan sendirinya. Karakter kandidat yang bagus memiliki nilai tersendiri. Nasib kita secara kolektif akan lebih baik andai kita memiliki presiden yang tegas ketimbang yang peragu. Akan lebih baik, sebagai bangsa, jika kita mendapatkan presiden yang berwibawa daripada presiden yang cengengesan. Dan tentu saja kita akan lebih beruntung jika mempunyai presiden yang bisa dipercaya ketimbang yang culas. Dan seterusnya.
Tapi, proses memilih dengan cara tersebut belum sempurna dan tak mesti berujung pada hasil yang maksimal. Sebab, karakter personal tidaklah identik dengan opsi kebijakan publik. Kita bisa memiliki presiden yang pintar namun tak memiliki kebijakan apapun. Kita juga bisa mendapatkan gubernur yang jujur, namun tak mengerti permasalahan publik. Bisa juga, melalui pemilu, kita memperoleh bupati yang penuh perhatian tapi miskin visi politik.
Label partai sebenarnya bisa memaksimalkan kualitas memilih para pemilih, jika saja partai politik memiliki tradisi panjang, membangun tautan programatik dengan pemilih. Celakanya, sejarah pendek partai politik Indonesia dipenuhi dengan upaya membangun tautan dengan pemilih melalui sentimen primordial yang bersifat simbolik, atau tautan yang berbasis material. Karena itu urgensi capres untuk menyodorkan informasi programatik kepada pemilih sangat penting dalam situasi Indonesia sekarang. Untuk membantu pemilih membuat keputusan memilih secara lebih berkualitas, para calon presiden harus merambah isu-isu sosial yang menjadi concern publik pemilih. Mereka mesti memperjernih ambilan posisi mereka terhadap isu-isu publik tersebut, serta menyodorkan opsi kebijakan untuk menjawab permasalahan yang termuat dalam isu-isu tersebut.
Praktiknya, para calon presiden bisa dan boleh memilih urutan prioritas isu publik yang menurut mereka penting. Mereka selayaknya menunjukkan kemampuan untuk mengidentifikasi dan merumuskan permasalahan kolektif bangsa yang wajib dicarikan pemecahan. Dan pemecahan itu dipaparkan dalam bentuk opsi kebijakan. Daya atraktif calon untuk memenangkan dukungan politik dengan demikian terbangun pada aras program. Karena itu, tautan politik yang berkembang antara calon presiden dengan publik adalah tautan programatik.
Selain prioritas isu publik bisa dijadikan dasar pembeda antar calon presiden – dus bisa menjadi titik tolak keputusan politik bagi pemilih – pengambilan posisi terhadap isu publik dan cara penyeselesaian permasalahan publik bisa menjadi kontras yang baik bagi pemilih untuk menimbang pilihan politik dan calon yang didukungnya. Kata kunci dari proses membuat keputusan bagi pemilih untuk jenis ini adalah setuju atau tidak setuju dengan prioritas isu serta tawaran kebijakan yang diajukan para calon. Mari kita tengok perdebatan antara Barack Obama dengan Mitt Romney pada pemilu presiden di Amerika Serikat dua bulan yang lalu.
Pertarungan antara Barack Obama dan Mitt Romney yang baru lalu juga memampang kecenderungan personalisasi. Masing-masing kandidat di sesi kampanye dan debat melabeli lawannya dengan sejumlah karakter personal yang negatif: bigot, ignorant, emotional, strong leader, dishonest and untrustworthy.Kehadiran kecenderungan ini dalam pemilu presiden di Amerika sejak awal mudah ditebak.
Perang framing terhadap lawan politik pun terjadi dengan gencar. Kubu Romney, misalnya, melabeli Obama sebagai big spender (pembelanja yang boros), job creator for Chinese (pencipta lapangan kerja untuk orang Cina), bloated bureaucracy (birokrasi yang tambun), dan robbing the rich (merampok orang kaya). Sebaliknya, kubu Obama juga melabeli Romney dengan sejumlah olok-olok. Pertarungan antara Obama dan Romney, misalnya, dikerangkai kubu Obama sebagai pertarungan Kelompok 99% melawan Kelompok 1% di mana kubu Obama mengklaim mereka mewakili mayoritas dan Romney membela hanya sekelompok kecil orang kaya belaka. Tuduhan pengemplang pajak juga disematkan oleh kubu Obama terhadap Romney gara-gara persentase pajak yang dibayarkan Romney yang konglomerat lebih kecil dibandingkan dengan persentasi pajak yang dibayarkan warga biasa.
Yang justru menarik, di sela-sela aneka strategi untuk menjatuhkan dengan memberikan label negatif pada lawan politiknya, kedua calon presiden itu menawarkan opsi kebijakan untuk permasalahan ekonomi yang dihadapi negara itu. Realitas ekonomi yang dihadapi sama: bahwa pertumbuhan ekonomi Amerika sangat rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi. Namun masing-masing kandidat datang dengan gagasan yang berlainan untuk menyelesaikannya.
Romney menawarkan sebuah plot argumen. Dipadatkan dan disederhanakan, untuk menyelesaikan dua masalah itu, Romney mengatakan bahwa Amerika Serikat memerlukan investasi baru untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Investor, begitu laju argumen Romney, harus diberi insentif pemotongan pajak, sebab merekalah yang memiliki kemampuan melecut pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Obama datang dengan plot argumen yang berbeda .
Menurutnya, Amerika memerlukan jaring pengaman sosial untuk mereka yang mengalami kesulitan ekonomi dan pemerintah harus bertanggungjawab atas hal itu. Pada saat bersamaan, pemerintah harus mampu menciptakan lapangan kerja. Kedua tujuan ini bisa diraih melalui program ekonomi dan sosial yang diselenggarakan pemerintah. Dus, pemotongan pajak akan menyulitkan pembiayaan program pemerintah. Justru itu, Obama berargumen, si super kaya mesti dipajaki lebih tinggi.
Dengan mengabaikan detail, dua kandidat ini secara jernih menunjukkan posisi mereka dalam isu pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Pemadatan opsi kebijakan juga ditawarkan kepada pemilih untuk bersetuju atau tidak bersetuju dengan tawaran masing-masing.
* * *
Andai kita menunda kecurigaan atas barang impor, sebagian pengalaman pemilu presiden di Amerika November silam layak dipelajari dan dipraktekkan. Karakter kandidat dan posisi terhadap isu publik, dan bersamaan dengan tawaran kebijakannya, perlu disirkulasikan ke publik pemilih sejak jauh hari. Selesai pemilu tahun 2014, presiden terpilih segera menghadapi efek perjanjian perdagangan bebas. Apa saja pilihan strategi para kadidat untuk menghadapi tantangan itu? Kebijakan industri seperti apa yang bisa dikembangkan? Kebijakan perburuhan macam apa yang mesti diambil? Ini baru satu isu. Belum lagi isu-isu lain yang akan menghadang di depan seperti kecenderungan merebaknya konflik horizontal di masyarakat, akutnya korupsi di dunia politik, kualitas pendidikan, pemenuhan stand ar kesejahteraan minimal, dan sebagainya.
Untuk menjawab semua tantangan itu, karakter kepemimpinan macam apa yang lebih penting dimiliki seorang calon presiden? Semua kemungkinan kombinasi dan permutasi antara karakter calon presiden, prioritas isu, dan opsi kebijakan yang ditawarkan mereka mesti tersedia sebagai paket informasi bagi pemilih, dan mesti disosialisasikan secara masif. Publik berhak mendapatkan informasi lengkap tentang berbagai kombinasi itu agar mereka bisa memilih secara benar dan berkualitas. Akan halnya para calon presiden dan tim suksesnya, kita berharap bahwa mereka bersedia mengembangkan tautan programatik dengan para pemilih. Kurang dari itu, pemilu presiden tak lebih dari kompetisi antar elit yang miskin kualitas.
sumber : Indonesia 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar